perjalanan kuliah makalah aliran ahlussunnah wal jama ah december 5th, 2019 - disebabkan inilah ahlussunnah dinisbahkan kepada keduanya mereka ahlussunnah wal jamaah akhirnya dikenali dengan nama al asy’ariyyun para pengikut imam abu al hasan asy’ari dan al maturidiyyun para pengikut imam abu manshur al maturidi hal ini
Topics ebook, salafy, ahlussunnah, salaf, salafi Collection opensource Language German Berikut adalah kompilasi ebook PDF ahlussunnah wal jamaah. Semoga bermanfaat. Addeddate 2019-02-08 064907 Identifier ebooksalafy Identifier-ark ark/13960/t9773020w Ocr tesseract Ocr_detected_lang id Ocr_detected_lang_conf Ocr_detected_script Latin Ocr_detected_script_conf Ocr_module_version Ocr_parameters -l deu Page_number_confidence Ppi 300 plus-circle Add Review comment Reviews There are no reviews yet. Be the first one to write a review. DownloadArtikel ini ke PDF (Klik Disini!!) Di dalam mempelajari Ilmu Tauhid atau aqidah, madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) menggunakan dalil nadli dan aqli. Dalil naqli ialah dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW dan dalil Aqli ialah dalil yang berdasarkan akan pikiran yang sehat. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Vol. 3, No. 1, Februari 2019, hlm. 1-20Tauhid Ahlussunnah wal Jama’ah;Antara Imam al-Asyari dan Ibn TaymiyyahMuhammad Imdad Rabbani*Institut Agama Islam IAI Nurul Jadid, Probolinggoimdadr paper wants to highlight the distinct problem in understanding monotheism. That is the understanding that came from Abu al-Hasan al-Asy'ari with Ibn Taimiyyah. The emphasis of the discussion is located on whether the difference between the two in understanding tauhid has entered the realm of ushul aqeedah or not? Because of this difference, one of the followers called the other one out’ from ahl sunnah wa al-jama'ah. This problem is increasingly relevant to be discussed because both are often bumped into each other ; as if it could not come together otherwise there is no point of equality. On the one side Asy'ari inherits a thick kalam tradition, while on the other hand Ibn Taimiyyah tends to be critical of this tradition. For the second group, the kalam tradition is called too rational and is considered dangerous to interpreting the issue of aqeedah. Therefore, this paper specically wants to highlight some of the problems above, to a minimum of nding common ground while at the same time providing an alternative view that is often missed a lot of peopleKeywords Tauh}id, Abu Hasan al-Asy’ari, Ibn Taimiyyah, kalam tradition, ahl al-sunnah wa al-jama>’ahAbstrakMakalah ini ingin menyoroti problem distingsi dalam memahami tauhid. Yaitu pemahaman yang datang dari Abu al-Hasan al-Asy’ari dengan Ibn Taimiyyah. Titik tekan pembahasannya adalah terletak pada, apakah distingsi keduanya dalam memahami tauhid telah masuk kepada ranah ushul aqidah atau bukan? Karena perbedaan ini faktanya membuat pengikut salah satunya menyebut salah lainnya keluar dari sebutan ahl sunnah wa al-jama’ah. Problem ini semakin relevan untuk dibahas karena keduanya seringkali * Jl. KH. Zaini Munim Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton, Probolinggo, Jawa Timur, Indonesia. Telp +62335 at TASFIYAH Jurnal Pemikiran IslamMuhammad Imdad Rabbani2dibentur-benturkan satu sama lain; seolah-olah tidak bisa disatukan dan tidak ada titik persamaan. Di satu sisi Asy’ari mewarisi tradisi kalam yang kental, sedang di sisi lainnya Ibn Taimiyyah cenderung kritis terhadap tradisi ini. Bagi golongan yang kedua, tradisi kalam disebut terlalu rasional dan dianggap berbahaya dalam menafsir persoalan aqidah. Oleh karena itu, makalah ini secara khusus ingin menyoroti beberapa problem di atas, untuk seminimalnya mencari titik temu sekaligus memberikan alternatif pandangan yang banyak dilewatkan banyak Kunci Tauh}id, Abu Hasan al-Asy’ari, Ibn Taimiyyah, tradisi kalam, ahl al-sunnah wa al-jama>’ahPendahuluanSalah satu persoalan yang saat ini menyibukkan umat Islam adalah berbagai perdebatan teologis yang diwarisi oleh generasi sebelumnya. Di antara banyak perdebatan yang seringkali memantik kontroversi adalah diskusi seputar konsep tauhid. Di kalangan umat Islam saat ini, yang disebut sebagai ahlussunnah wal jama’ah, terdapat sekurangnya dua pendekatan dalam mengelaborasi konsep tauhid. Pertama adalah mereka yang mewarisi tradisi ilmu kalam. Yang menjadi menarik adalah, bagi sebagian kalangan, ilmu kalam dianggap terlalu rasional dalam diskursus aqidah. Mereka dianggap mengabaikan pendekatan teks dalam pembahasan yang bersifat usuliyah; ditelusuri secara seksama, sebagian besar kelompok ini biasanya diidentikasi sebagai pengikut madzhab Abu al-Hasan al-Asy’ari w. 324/936, atau yang biasa dikenal dengan asya’irah dan sebagian lainnya adalah sebagai penganut madzhab Abu Mansur al-Maturidi w. 333/944 atau yang masyhur disebut maturidiyyah. Kedua, di sisi yang berbeda, terdapat golongan lain yang cenderung menjadi ”rekan kritis” dari pewaris tradisi kalam ini. Mereka, di masa klasik, adalah sebagian pengikut madzhab Imam Ahmad bin Hanbal w. 241/855, yang posisi teologisnya mendapat elaborasi dan pembelaan secara luas dan rasional dari seorang alim madzhab Hanbali abad ke delapan hijriah, yaitu Ibn Taymiyah w. 728/-1328. Vol. 3, No. 1, Februari 2019Tauhid Ahlussunnah wal Jama’ah... 3Dalam beberapa kesempatan, Syeikh Mushthafa Abd al-Raziq w. 1366/1947 menilai bahwa ”persaingan” kedua aliran pemikiran teologis ini menandai kebangkitan wacana teologi Islam Yang menjadi persoalannya adalah terkadang—untuk tidak mengatakan seringkali—perdebatan yang terjadi menyebabkan salah satu pihak menyalahkan, bahkan menyesatkan kawan bicaranya, tanpa terlebih dahulu menimbang apakah persoalan yang diperdebatkan termasuk di antara hal yang tidak boleh diperselisihkan atau sebaliknya. Dalam konteks inilah, diskusi mengenai konsep tauhid dalam pandangan al-Asy’ari dan Ibn Taymiyah menemukan relevansi dan urgensinya. Konsep ini dipilih mengingat sentralitasnya dalam Islam, yang kalau diingat-ingat kembali, seringkali menjadi alasan utama, kekuranghati-hatian dalam menilai, juga menjadi alat bagi tindakan takri pengkaran dan ini berusaha memaparkan bagaimana sebetulnya keduanya—baik Asy’ari maupun Ibn Taimiyyah—memformulasikan tauhid, dengan menguraikan persamaan dan perbedaannya, untuk kemudian menggarisbawahi bahwa secara umum perbedaan keduanya tidak sampai mengeluarkan keduanya dan pengikutnya dari ahlussunnah wa al-jama’ah. Untuk itu, terlebih dahulu akan dijelaskan pengertian ahlussunnah juga yang menjadi tolak ukurnya. Kemudian akan dibicarakan secara terpisah, konsep tauhid menurut al-Asy’ari dan Ibn Taymiyyah. Tulisan ini diakhiri dengan beberapa catatan mengenai perbandingan sekilas konsep tauhid menurut keduanya dan sikap yang seharusnya diambil oleh umat Islam sekarang. Pandangan keduanya dipaparkan sebisa mungkin menggunakan kutipan langsung, untuk meminimalkan penafsiran penulis. Khusus untuk al-Asy’ari, gagasan dari para pengikutnya akan juga dikutip dalam tema-tema yang tidak secara spesik dibicarakan oleh al-Asy’ari. Sedangkan bacaan terhadap Ibn Taymiyyah hampir seluruhnya didasarkan atas karya beliau 1 Mushthafa Abd al-Raziq, Tamh}īd lī Tārīkh al-Falsafah al-Islāmiyah, Beirut dan Kairo Dār al-Kitab al-Lubnani dan Dar al-Kitab al-Mishri, 2011, 429. TASFIYAH Jurnal Pemikiran IslamMuhammad Imdad Rabbani4sendiri. Dengan demikian, tulisan ini adalah kajian deskriptif yang ditunjukan tidak untuk mengevaluasi pandangan tentang Ahl Sunnah wa al-Jama’ahSecara sederhana, sebutan Ahl Sunnah wa al-Jamā’ah mengandung penyandaran kepada dua hal; al-Sunnah dan al-Jamāah. Pengertian yang pertama adalah segala yang dinisbatkan pada Nabi SAW., baik berupa sabda, perbuatan, persetujuan, maupun sifat sik atau non- Tercakup pula di dalamnya adalah sunnah al-Khulafā’ Sedangkan makna al-Jamā’ah adalah ulama yang otoritatif pada setiap Dengan demikian, yang termasuk ahlu al-sunnah wa al-jama>’ah adalah mereka yang pemahaman dan pengamalan agamanya didasarkan pada pemahaman dan pengamalan para Sahabat, dan kemudian sebagaimana yang dipahami dan diamalkan oleh generasi kemudian secara berkelanjutan yang bersandar pada mata rantai keilmuan sanad yang tidak terputus5 dan sampai pada Nabi SAW, baik dalam pandangan dan pemahaman madzāhib maupun metode memahami manāhij al-Fahm wa al-Istinbāt}. Yang penting untuk ditekankan dalam hal ini adalah prinsip-prinsip interaksi intelektual dan kebudayaan dalam mengadopsi dan mengadapsi hal-hal baru yang ditemui terutama oleh tiga generasi istilah ahlussunnah wal jama’ah, terdapat beberapa ungkapan lain yang bermakna serupa yang juga digunakan dalam 2 Nur al-Din Itr, Manh}āj al-Naqd fī Ulūm al-H}adīts, Damaskus Dar al-Fikr, 1979, Abu Abd Allah Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibn Mājah, Ed. Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi, Beirut Dar al-Fikr, Jilid I, Abu al-Fadl Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fath} al-Bāri Syarh} S}ah}īh} al-Bukhārī, Beirut Dar al-Ma’rifah, 1379, Jilid XIII, Tentang signikansi sanad, Abd Allah bin al-Mubarak, berkata ”Penyebutan sanad transmisi keilmuan adalah bagian dari agama; andaikan tidak ada klarikasi transmisi keilmuan, niscaya siapa saja bisa berbicara apa saja”, baca Abu al-Husayn Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyayri, al-Jāmī al-S}ah}īh} al-Musammā S}ah}īh} Muslim, Beirut Dar al-Jil dan Dar al-Afaq al-Jadidah, Jilid I, 12. Vol. 3, No. 1, Februari 2019Tauhid Ahlussunnah wal Jama’ah... 5hadis, seperti al-Sawa>d al-az}ām,6 mā anā alayhi wa as}h}ābi,7 dan al-jamā Terma-terma ini menunjuk pada pengertian yang sama yaitu semua umat Islam yang mengikuti jejak Rasululah SAW. dan para Sahabat RA., yang merupakan mayoritas umat Islam dalam setiap masa. Seperti yang diindikasikan oleh jawaban Imam Malik RA. w. 179/795 ketika ditanya tentang ahlu al-sunnah wa al-jama>’ah, ”mereka yang tidak punya sebutan tertentu, bukan Jahmi, bukan Qadari, dan juga bukan Radli.”9 Artinya, mereka adalah mayoritas umat Islam yang pemahaman agamanya diwarisi dari generasi sebelumnya dengan silsilah sanad yang sampai pada Nabi SAW. dan para Sahabat RA., bukan mereka yang membuat pandangan atau cara berpikir yang tidak dikenal oleh generasi sebelumnya, yang membuat mereka terpencil dari sebagian besar umat konteks ini, yang perlu dipahami adalah distingsi antara dalil yang bersifat pasti qat}iyyāt dan yang tidak z}anniyyāt. Yang pertama adalah yang disepakati para Sahabat ra. yang pasti berlandaskan Wahyu, sedangkan yang kedua berada dalam wilayah yang diperselisihkan oleh para Sahabat maupun ulama sesudah mereka; karena ketiadaan dalil yang bersifat pasti makna dan 6 Abu al-Qasim Sulayman bin Ahmad al-Thabarani, al-Mujam al-Awsat}, Ed. Thariq bin Iwadl Allah bin Muhammad, Kairo Dar al-Haramayn, 1415, Jilid VII, 175; Abu al-Qasim Sulayman bin Ahmad al-Thabarani, al-Mujam al-Kabīr, Ed. Hamdi bin Abd al-Majid al-Sala, Mosul Maktabah al-’Ulum wa al-Hikam, 1983, Jilid VIII, 152, 268, 274. Abu Abd Allah Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibn Mājah, Jilid II, Abu Isa Muhammad bin Isa al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmīdzī, Ed. Ahmad Muhammad Syakir, et al., Beirut Dar Ihya al-Turaats al-Arabi, Jilid V, Abu Abd Allah Ahmad bin Hanbal al-Syaybani, Musnad al-Imām Ah}mad bin H}anbal, Kairo Muassasah Qurthubah, Jilid IV, 102. Lihat juga; Abu Dawud Sulayman bin al-Asyats al-Sijistani, Sunan Abī Dāwud, Beirut Dar al-Kitab al-Arabi, Jilid IV, Abu Umar Yusuf bin Abd al-Barr, al-Intiqā’ fī Fad}ā’il al-A’immah al-Tsalātsah al-Fuqahā’, Ed. Abd al-Fattah Abu Ghuddah, Aleppo dan Beirut Maktab al-Mathbuat al-Islamiyah dan Dar al-Basya’ir al-Islamiyah, 1997, 72. Bandingkan dengan pernyataan Ibn Katsir; bahwa Ahlussunnah wa al-Jama’ah adalah mayoritas umat Islam dalam Abu al-Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir al-Qurasyi, al-Nihāyah fī al-Fitan wa al-Malāhīm, Ed. Muhammad Ahmad Abd al-Aziz, Beirut Dar al-Jil, 1988, Jilid II, 36. TASFIYAH Jurnal Pemikiran IslamMuhammad Imdad Rabbani6transmisinya sekaligus qat}iy al-dalālah wa al-wurūd.10 Dengan demikian, al-Qur’an dan Hadis, sebagai sumber utama dalil dalam Islam perlu dimengerti dalam matriks qat}iy-z}annīy dan dalālah-wurūd. Walhasil, dengan demikian, ayat al-Qur’an maupun hadis yang bersifat pasti transmisi dan maknanya qat}īy al-wurūd wa al-dalālah adalah satu-satunya jenis dalil; dalam kerangka ini, yang menghasilkan produk yang tidak boleh diperselisihkan dan harus disepakati, baik dalam masalah keyakinan maupun amaliah. Sementara tiga jenis dalil yang lain—yang pasti maknanya, namun tidak pasti transmisinya; yang tidak pasti maknanya, namun pasti jalur transmisinya; dan yang tidak pasti makna dan transmisinya secara umum, berpeluang untuk dipahami secara berbeda. Dengan ungkapan lain, di sini ia tidak bisa dipahami secara tunggal; maka menghendaki pemahaman yang Menurut Imam Abu al-Hasan al-Asy’ariDalam pemaparannya mengenai aqidah ashhāb al-hadīts dan ahl al-sunnah, Al-Asy’ari menulis ”bahwa Allah SWT. Tuhan Yang Esa Wahid, Tunggal Fard, Maha Mutlak Shamad tidak ada tuhan selain-Nya.”11 Pengertian tauhid menurut al-Asy’ari dielaborasi lebih lanjut oleh Ibn Furak w. 406/1015, yang meringkas pandangan-pandangan al-Asy’ari, dengan menyatakan bahwa makna wahid dan ahad adalah menyendiri yang berarti penaan terhadap yang menyamai dalam dzat, perbuatan dan sifat, ”karena Dia dalam Dzat-Nya tidak terbagi, dalam Sifat-Nya tidak ada yang menyamai, dan dalam pengaturan-Nya tidak ada sekutu”.12 Lebih lanjut Imam al-Haramayn 10 Muhammad Naim Muhammad Hani Sai, al-Qānūn fī Aqāid al-Firaq wa al-Madzāhib al-Islāmiyyah, Kairo Dar al-Salam, 2007, Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asyari, Maqālāt al-Islāmiyyīn wa Ikhtilāf al-Mus}allīn, Ed. Muhammad Muhy al-Din Abd al-Hamid, Beirut al-Maktabah al-Ashriyah, 1990, Jilid I, 345. Pernyataan serupa juga dapat ditemukan dalam; Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asyari, al-Ibānah an Us}ūl al-Diyānah, Ed. Fawqiyah Husayn Mahmud, Abidin Dar al-Anshar, 1977, Abu Bakr Muhammad bin al-Hasan bin Furak, Mujarrad Maqālāt al-Syaikh Abī al-H}asan al-Asyāri, Ed. Daniyal Jimarih, Beirut Dar al-Masyriq, 1978, 55. Dalam Vol. 3, No. 1, Februari 2019Tauhid Ahlussunnah wal Jama’ah... 7w. 478/1085 menegaskan bahwa makna tauhid adalah meyakini keesaan Allah, yang penjelasannya ditujukan untuk membuktikan secara argumentatif keesaan Allah SWT. dan bahwa tidak ada Tuhan membuktikan keesaan Allah SWT. al-Asy’ari menggunakan argumentasi rasional yang didasari atas ayat al-Qur’an. Misalnya, ketika menjabarkan konsep tauhid, al-Asy’ari terlebih dahulu mengutip surah al-Syura ayat 11 dan surah al-Ikhlas ayat 4 yang dilanjutkan dengan argumentasi rasional berdasarkan dua ayat di Dalam bukunya yang lain, al-Asy’ari memaparkan terlebih dahulu pembuktian mengenai keesaan Allah SWT. dan kemudian diakhiri dengan kutipan surah al-Anbiya’ ayat Pendekatan yang digunakan al-Asy’ari dalam memaparkan argumentasi pembuktian tauhid dan aspek aqidah yang lain, dengan demikian, menggabungkan dalil tekstual dan penalaran rasional. Suatu hal yang kemudian menjadi ciri al-Asy’ari mengenai konsep tauhid dapat dibagi ke dalam tiga aspek; Dzāt, S}ifāt dan Afāl perbuatan.16 Yang pertama bermakna bahwa Allah SWT. Esa dalam dzat-Nya dan tidak menyerupai sesuatu apapun selain-Nya. Hujah untuk hal ini adalah al-Qur’an surah al-Syura ayat 11 dan surah al-Ikhlas ayat beberapa karya al-Asy’ari sendiri terdapat penjelasan mengenai beberapa aspek tauhid ini, yang kemudian dijabarkan lebih luas oleh para pengikutnya. Mengenai tauhid Dzāt misalnya, al-Asy’ari menulis bahwa ”Dia SWT. tidak menyerupai alam sama sekali” dan kemudian dilanjutkan dengan penjabaran argumentasi yang mendukung pernyataannya dengan mengutip dari beberapa ayat al-Quran dan argumentasi rasional. Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asyari, Risālah ilā Ahl al-Tsaghīr, Ed. Abd Allah Syakir Muhammad al-Junaydi, al-Madinah al-Munawwarah Maktabah al-Ulum wa al-Hikam, 2002, 210-212. Bandingkan dengan; Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asyari, Kitāb al-Luma fī al-Radd alā Ahl al-Zaygh wa al-Bidā, Ed. Hamudah Gharabah, Mathbaah Mishr Syirkah Musahamah Mishriyah, 1955, Imam al-Haramayn al-Juwayni, al-Syāmil fī Us}ūl al-Dīn, Ed. Ali Sami al-Nasysyar, Fayshal Budayr Awn dan Suhayr Muhammad Mukhtar, Iskandariyah Mansyaah al-Maarif, 1969, Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asyari, Risālah ilā Ahl al-Tsaghīr…, Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asyari, Kitab al-Luma  al-Radd ala..., Pembagian ini yang kemudian dikenal di kalangan pengikut madzhab al-Asy’ari. TASFIYAH Jurnal Pemikiran IslamMuhammad Imdad Rabbani84 yang dilanjutkan dengan penalaran rasional bahwa keserupaan dengan makhluk akan berkonsekuensi kebaharuan dan kebutuhan terhadap pencipta atau berkonsekuensi dahulunya makhluk yang menyerupainya, di mana keduanya mustahil Singkatnya, tauhid dzat adalah mengesakan Allah SWT. dalam dzat-Nya tidak tersusun dari elemen-elemen; internal maupun eksternal, dan tidak ada yang menyamai dan menyerupai kedua adalah tawh}id al-s}ifāt, yang berarti bahwa sifat ketuhanan adalah sebagaimana yang ada dalam al-Qur’an dan Hadis, yang armasi terhadapnya sama sekali tidak menimbulkan penyerupaan tasybīh, karena Sifat-Nya tidak seperti sifat makhluk, sebagaimana Dzat-Nya tidak seperti dzat Sifat-sifat ini bukanlah sesuatu yang baharu muh}dats atau menyerupai sifat sesuatu yang baharu, karena yang demikian akan berkonsekuensi tiadanya sifat itu sebelum ia ada, yang mengeluarkannya dari ketuhanan. Salah satu konsekuensi dari tauhid sifat adalah penaan terhadap penggambaran takyīf. Al-Asy’ari menegaskan bahwa Ahlussunnah bersepakat untuk ”menyifati Allah SWT. dengan seluruh sifat yang diatribusikan oleh-Nya dan utusan-Nya, tanpa penentangan, tanpa penggambaran, dan bahwa beriman terhadapnya adalah wajib, dan meninggalkan penggambaran adalah keharusan.”19 Pendeknya, al-Asy’ari mendasarkan pandangannya dalam masalah ini adalah ayat al-Qur’an dan Hadis, dengan menghindari penyerupaan tasybīh.Selanjutnya adalah tawh}īd al-afāl, yang mengandung pengertian bahwa yang pencipta segala sesuatu adalah Allah SWT. dan bahwa perbuatan makhluk diciptakan Al-Baqillani w. 402/1013 mengelaborasi lebih lanjut pengertian tauhid ini ketika menafsirkan surah al-Buruj ayat 16 dengan menekankan bahwa Allah Swt adalah yang mencipta seluruh perbuatan hamba 17 Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asyari, Risālah ilā Ahl al-Tsaghīr…, Ibid., Ibid..., Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asyari, Al-Ibānah an Us}ūl al-Diyānah…, 23; Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asyari, Maqalāt al-Islamiyyīn ..., Jilid I, 346. Vol. 3, No. 1, Februari 2019Tauhid Ahlussunnah wal Jama’ah... 9dan seluruh peristiwa Penekanan dari tauhid ini adalah kemutlakan kekuasaan Allah Swt, sehingga Dialah satu-satunya yang menciptakan segala uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tauhid dalam pandangan al-Asy’ari bermakna mengesakan Allah SWT. dalam Dzat, Sifat dan Perbuatan-Nya. Artinya bahwa Allah adalah Maha Esa dalam dalam berbagai dimensi dari ketiga aspek tadi. Argumen yang digunakan al-Asy’ari didasarkan atas ayat al-Qur’an maupun Hadis yang dielaborasi secara Menurut Imam Ibn TaymiyyahIbn Taymiyyah menekankan bahwa tauhid yang wajib adalah tauhid ulūhiyyah yang bermakna ”menyembah Allah tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, sehingga ketaatan seluruhnya menjadi milik-Nya, dan tidak takut kecuali pada Allah, tidak berdoa kecuali pada Allah, dan Allah menjadi yang paling dicintai seorang hamba daripada segala sesuatu, sehingga mereka mencintai karena Allah, membenci karena Allah, menyembah kepada Allah dan berpasrah pada-Nya.”22 Pengertian tauhid ini memiliki dua aspek, keyakinan itiqādi dan praktis amali. Yang pertama disebut tawh}īd al-marifah wa al-itsbāt,23 sedangkan yang kedua, tawh}īd al-ibādah, yang lebih lanjut lagi didenisikan oleh Ibn Taymiyyah sebagai ”menyatakan tah}qīq kesaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah [dengan] bermaksud Allah dengan ibadah dan menghendaki-Nya dengan ibadah itu bukan selain-Nya.”24 21 Abu Bakr Muhammad bin al-Thayyib bin al-Baqillani, Kitāb al-Tamh}īd, Ed. Richard Joseph McCarthy, Beirut al-Maktabah al-Syarqiyah, 1957, Taqiy al-Din Abu al-’Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyyah, Minhāj al-Sunnah al-Nabawiyah, Ed. Muhammad Rasyad Salim, Muassasah Qurthubah, Jilid III, Abu Abd Allah Muhammad bin Abi Bakr ibn al-Qayyim al-Jawziyyah, Madārij al-Sālikīn bayna Manāzīl Iyyāka Nabudu wa Iyyāka Nastaīn, Ed. Muhammad Hamid al-Faqi, Beirut Dar al-Kitab al-Arabi, 1973, Jilid III, Taqiy al-Din Abu al-Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyyah, al-Fatāwā al-Kubrā, Ed. Muhammad Abd al-Qadir Atha dan Mushthafa Abd al-Qadir, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1987, Jilid VI, 566. TASFIYAH Jurnal Pemikiran IslamMuhammad Imdad Rabbani10Sedangkan ibadah sendiri didenisikan oleh Ibn Taymiyyah sebagai ”nama untuk semua yang dicintai dan diridlai Allah, baik berupa ucapan maupun perbuatan, lahir maupun batin.”25 Reformulasi yang demikian ditujukan sebagai kritik atas formulasi mereka yang disebut ”al-mubtadiūn fī al-tawh}īd min ahl al-kalām”26 yang menurut Ibn Taymiyyah membatasi, makna ketuhanan ilāhiyyah pada sifat mencipta al-khalq, kuasa al-qudrah, dahulu al-qidām dan semacamnya, seraya abai pada esensi tauhid yang berupa pengesaan Allah dalam ibadah dan mengakibatkan mereka terjerumus dalam kesyirikan yang menakan lebih terperinci, Ibn Taymiyyah membagi tauhid ke dalam tiga jenis, al-rubūbiyah, al-ulūhiyah dan al-asmā’ wa al-s}hifāt. Yang pertama bermakna meyakni bahwa Allah SWT. adalah ”Pencipta segala sesuatu, Tuhannya Rabbuhu, Pemiliknya, tidak ada pencipta selain-Nya... Segala apa yang ada, gerakan maupun diam, adalah dengan ketentuan, ketetapan, kehendak dan cipta-Nya.”28 Hal ini didasarkan atas ana-lisis terhadap kata al-Rabb yang dimaknai sebagai ”yang menghidup-kembangkan yurabbī hamba-Nya, memberi bentuk kemudian memberi petunjuknya pada semua keadaannya, ibadah atau lainnya.”.29 Ringkasnya, tauhid ini dapat dibagi ke dalam dua kategori, kemutlakan kekuasaan Allah SWT. dan kesempurnaan kasih sayang dan Tauhid rubūbiyyah ini, dari aspek tertentu, paralel dengan tauhid afāl sebagaimana yang dijabarkan al-Asy’ari. Keduanya merupakan konseptualisasi dari Tuhan dalam kemutlakan Taqiy al-Din Abu al-Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyyah, al-Ubūdiyah, Ed. Muhammad Zuhayr al-Syawiys, Beirut al-Maktab al-Islami, 2005, Taqiy al-Din Abu al-Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyyah, al-Fatāwā al-Kubrā, Jilid VI, Taqiy al-Din Abu al-Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyyah, al-Furqān bayna Awliyā’ al-Rahmān wa Awliyā’ al-Syayt}hān, Ed. Abd al-Rahman bin Abd al-Karim al-Yahya, Riyadl Maktabah Dar al-Minhaj, 1428, Taqiy al-Din Abu al-Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyyah, Majmū’ al-Fatāwā, dicetak atas perintah Raja Fahd bin Abd al-Aziz, Ed. Abd al-Rahman bin Qasim, 1398, Jilid I, 21-2230 Ibid, Jilid II, 398-401 Vol. 3, No. 1, Februari 2019Tauhid Ahlussunnah wal Jama’ah... 11Yang kedua adalah tauhid ulūhiyah, yang didenisikan sebagai penyembahan pada Allah tanpa Karenanya, seseorang yang meyakini Allah SWT. sebagai pengatur dan pencipta segala sesuatu al-Rabb tapi menyembah yang lain, adalah orang menyekutukan Tuhan musyrik dalam penyembahan Karena kata al-Ilāh bermakna ”yang dipertuhan dan disembah dengan cinta, kepasrahan, pengagungan dan penghormatan”33 yang berhubungan dengan perintah dan larangan, cinta, takut dan harapan, sedangkan kata al-Rabb bermakna ”yang menghidup-kembangkan yurabbī hamba-Nya, memberi bentuk kemudian memberi petunjuknya pada semua keadaannya, ibadah atau lainnya”34 yang berkonsekuensi kepasrahan dan penyerahan Tauhid ulūhiyah, dengan demikian, adalah tauhid ibadah, karena yang dipertuhan al-ma’lūh adalah yang disembah al-mabūd.36 Ibn Taymiyyah menegaskan sentralitas tauhid ulūhiyah atau tauhid ibadah ini dengan menyatakan bahwa tauhid inilah yang ”didakwahkan oleh al-Quran dari pertama hingga terakhir dan semua kitab suci dan para utusan”37 dan juga ”jantung keimanan dan awal serta akhir Islam”.38 Yang termasuk dalam pengertian ibadah, sesuai dengan denisi Ibn Taymiyyah, adalah ”semua kekhususan Tuhan, maka tidak boleh ditunduki selain-Nya, tidak boleh ditakuti se-lain-Nya, tidak boleh dipasrahi selain-Nya, tidak boleh dijadikan objek doa selain-Nya, 31 Taqiy al-Din Abu al-Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyyah, Syarh} al-Aqīdah al-Ashāniyah, Ed. Ibrahim Saiday, Riyadl Maktabah al-Rusyd, 1415, Taqiy al-Din Abu al-Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyyah, al-Fatāwā al-Kubrā, Jilid VI, Taqiy al-Din Abu al-Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyyah, Majmū al-Fatāwā, Jilid I, 21-2234 Ibid, Jilid I, Taqiy al-Din Abu al-Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyyah, Majmūah al-Rasā’il wa al-Masā’il, Ed. Muhammad Rasyid Ridla, Lajnah al-Turats al-Arabi, Taqiy al-Din Abu al-Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyyah, Majmū al-Fatāwā, Jilid I, 55. TASFIYAH Jurnal Pemikiran IslamMuhammad Imdad Rabbani12tidak boleh sholat pada selain-Nya, tidak boleh puasa karena selain-Nya, tidak boleh bersedekah kecuali karena-Nya, tidak boleh dikunjungi untuk berhaji kecuali rumah-Nya.”39 Bagi Ibn Taymiyyah, tauhid ulūhiyah berarti bahwa ibadah—segala perbuatan lahir batin yang diridloi Allah Swt—hanya boleh ditujukan kepada Allah konsep tauhid ulūhiyah ini, Ibn Taymiyyah mengritik ulama kalam yang dalam pandangannya, membatasi pembahasan tauhid pada tauhid rubūbiyah, seraya abai terhadap tauhid ulūhiyah, yang justru merupakan inti dari tauhid itu sendiri. Kesalahan ini menggiring pada kesalahan yang lain, di antaranya anggapan mereka bahwa orang yang meyakini Allah SWT. sebagai satu-satunya yang mampu mencipta alam dianggap telah bersyahadat, padahal kemampuan mencipta bukanlah makna dari al-Ilāh, melainkan Untuk membuktikan bahwa tauhid rubūbiyah tidak cukup, Ibn Taymiyyah menyatakan bahwa kaum musyrikin Arab mengakui keesaan Allah SWT. dalam menciptakan langit dan bumi, tapi itu tidak mengeluarkan mereka dari kesyirikan,41 karena mereka menyekutukan-Nya dalam ketiga adalah tauhid al-asmā’ wa al-sifāt. Maknanya adalah mengesakan Allah dengan Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya sebagaimana diriwayatkan dalam al-Qur’an dan hadis; dengan mengarmasi penjelasan dalam al-Qur’an dan hadis dan menegasikan segala yang berlawanan dengan kemahasempurnaan 39 Taqiy al-Din Abu al-Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyyah, al-Rādd alā al-Akhnā’i wa Is}tih}bāb Ziyārah Khayr al-Bariyyah, Ed. Abd al-Rahman bin Yahya al-Muallimi al-Yamani, Kairo al-Mathbaah al-Salayah, Taqiy al-Din Abu al-Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyyah, al-Tadāmmuriyah Tah}qīq al-Itsbāt} lī al-Asmā’ wa al-Sifāt wa H}aqīqah al-Jam bayna al-Qadār wa al-Syar. Ed. Muhammad bin Awdah al-Suudi, Riyadl Maktabah Obeikan, 2000, Taqiy al-Din Abu al-Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyyah, Qaīdah Jalīlah fī al-Tawassul wa al-Wasīlah, Ed. Rabi bin Hadi Umayr al-Madkhali, Ujman Maktabah al-Furqan, 2001, 264. Vol. 3, No. 1, Februari 2019Tauhid Ahlussunnah wal Jama’ah... 13Allah. Tauhid ini menafikan penggambaran sifat takyīf, pengingkaran sifat ketuhanan tat}īl, penafsiran dalil dengan makna yang salah tah}rīf, penyerupaan dengan sifat makhluk tamtsīl.42 Tauhid ini, secara ringkas, adalah mengimani semua Nama-nama dan Sifat-sifat Allah SWT. tanpa penggambaran, penyerupaan dan penyelewengan Abu Hasan al-Asy’ari dan Ibn Taymiyyah Sebuah Catatan KritisElaborasi al-Asy’ari terhadap konsep tauhid merupakan respon terhadap situasi teologis-intelektual zamannya; ketika banyak aliran-aliran yang menyimpang dalam aqidah. Hal ini terlihat dari cara pemaparan istilah tauhid dalam kitab-kitab al-Asy’ari yang mayoritas merupakan tanggapan terhadap berbagai pandangan teologis yang menyimpang saat itu. Beberapa yang dapat disebut, di samping yang telah dikutip sebelumnya, di antaranya diskusi mengenai konsep tauhid dalam kitab al-Ibānah yang ditujukan sebagai respon terhadap golongan Hal yang sama dapat ditemukan dalam kitabnya yang lain, al-Maqālāt, di mana terma tauhid didiskusikan untuk membantah pandangan syīah rafīdlah, khawārij, murji’ah dan mu Berbeda dengan al-Asy’ari, Ibn Taymiyyah yang hidup kurang lebih lima abad sesudah al-Asy’ari, berada dalam posisi yang lebih baik untuk mengkonseptualisasi tauhid secara lebih rinci dan sistematis. Hal ini didorong pula oleh apa yang dipandang Ibn Taymiyyah sebagai korupsi dalam bidang aqidah yang disebabkan oleh penggunaan rasio yang, dalam pandangan Ibn Taymiyyah, yang 42 Muhammad bin Khalil Hasan Harras, Syarh} al-Aqīdah al-Wāsit}hiyyah, Ed. Alawi bin Abd al-Qadir al-Saqqaf, al-Khabar Dar al-Hijrah li al-Nasyr wa al-Tawzi, 1415, Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asyari, al-Ibānah ..., Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asyari, Maqalāt al-Islāmiyyīn ..., Jilid I, 109, 124, 185, 186, 223, 224, 235, 236. TASFIYAH Jurnal Pemikiran IslamMuhammad Imdad Rabbani14selain tidak proporsional,45 juga terinltrasi lsafat dalam ilmu Bahkan secara terperinci, Ibn Taymiyyah memaparkan bantahannya terhadap konsep tauhid ulama kalam yang dibagi dalam aspek dzāt, sifāt dan af Dengan demikian dapat dikatakan bahwa yang dilakukan Ibn Taymiyyah adalah usaha untuk memperbaiki apa yang dipandang sebagai penyimpangan dalam wacana teologis ahlussunnah wal Walaupun sejumlah pandangan Ibn Taymiyyah memunculkan kritik dari berbagai ulama yang sezaman maupun yang hidup sesudahnya. Dinamika seperti ini adalah sesuatu yang wajar dan harus disikapi dengan tepat dan beberapa perbedaan yang dapat dicatat dari perbandingan kedua konsep tauhid di atas. Di antaranya adalah perbedaan keduanya dalam formulasi tauhid. Konsep tauhid Al-Asy’ari, yang dalam pembentukannya lebih banyak merespon kemunculan aliran-aliran non ahlussunnah saat itu, lebih bersifat intelektual-rasional; suatu kecenderungan yang diwarisi oleh pengikutnya. Ibn Taymiyyah, di sisi lain, yang menerima warisan keilmuan yang lebih lengkap dan bereaksi terhadap dinamika yang ada pada zamannya, membangun konsep tauhidnya secara relatif lebih detail dan lengkap, dengan mengaitkan aspek kognitif dan Taqiy al-Din Abu al-Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyyah, al-Tadāmmuriyah ..., Taqiy al-Din Abu al-’Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyyah, Minhāj al-Sunnah ..., Jilid III, Taqiy al-Din Abu al-Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyyah, al-Tadāmmuriyah ..., Hal ini, bagaimanapun, bukan tanpa kritik balik. Sebaliknya, kritik dari ulama ahlussunnah sendiri telah muncul di masa hidupnya, yang beberapa kali melibatkannya dengan konik terbuka dengan beberapa kalangan ulama. Tentang beberapa peristiwa kontroversial dalam hidup beliau baca misalnya; Abu al-Fadl Ahmad bin Ali ibn Hajar al-Asqalani, al-Durar al-Kāminah fī Ayān al-Mi’ah al-Tsāminah, Ed. Muhammad Abd al-Muid Dlan, Hayderabad Majlis Da’irah al-Maarif al-Utsmaniyah, 1972, Jilid I,. Di luar lingkaran Ibn Taymiyyah, aspek praktis ini merupakan wilayah tasawuf; yang bermakna pengamalan syariat dalam maqam ihsan, berkulminasi pada tahapan tertinggi tauhid. Tentang denisi tasawuf silakan baca; Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, Kuala Lumpur ISTAC, 1993, 121-122. Sedang tentang Vol. 3, No. 1, Februari 2019Tauhid Ahlussunnah wal Jama’ah... 15Perbedaan lainnya dapat dilihat dari cara pandang terhadap hubungan antara kata al-ilāh dan al-rabb. Konsep tauhid al-Asy’ari dan para pengikutnya menegaskan bahwa keduanya memiliki makna dasar berbeda tapi memiliki pengertian madlūl yang sama sehingga tidak terbayangkan mengimani salah satunya beserta pengingkaran terhadap salah lainnya. Ringkasnya, setiap yang beriman terhadap keesaan Allah SWT. sebagai al-rabb di saat yang sama pasti beriman kepadaNya sebagai al-ilāh. Al-Taftazani w. 792/1390, misalnya, menulis ”hakikat tauhid adalah meyakini ketiadaan sekutu [bagi Allah SWT.] dalam ketuhanan ilahiyah dan kekhususannya. Dan tidak ada pertentangan antara umat Islam bahwa pengaturan alam semesta, penciptaan jasad, keharusan disembah istih}qāq al-ibādah dan dahulunya sifat yang ada pada Dzat-Nya semuanya adalah di antara kekhususan [sifat ketuhanan]”.50 Dalam pernyataan ini, al-Taftazani menekankan bahwa pengaturan alam dan penciptaan—yang menurut Ibn Taymiyyah merupakan tauhid rubūbiyah—dan keharusan disembah—yang menurut Ibn Taymiyyah merupakan tauhid ulūhiyah—adalah satu kesatuan, keimanan terhadap salah satunya memustahilkan pengingkaran pada yang Salah satu argumen yang untuk membuktikan hal ini adalah surah Ali Imran ayat 80, al-Naml ayat 25 dan al-Syuara ayat 97 dan 98. Di sisi lain, Ibn Taymiyyah menekankan sentralitas tauhid ulūhiyah, seraya menggambarkan tingkatan-tingkatan tauhid baca; Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ih}yā’ Ulūm al-Dīn, Beirut Dar al-Marifah, Jilid IV, Sad al-Din Masud bin Umar al-Taftazani, Syarh al-Maqashid, Ed. Abd al-Rahman Umayrah, Beirut Alam al-Kutub, 1998, Jilid IV, Bandingkan dengan pernyataan Ibn Abi Syarif yang secara lebih tegas menjelaskan hubungan ulūhiyah dan rubūbiyah; dia menulis ”Ulūhiyah adalah memiliki Sifat-sifat [tertentu] yang karenanya Dia Swt wajib disembah, yaitu Sifat-sifat yang hanya menjadi milik-Nya Swt, maka tidak ada sekutu bagi-Nya di dalamnya. [Sifat-sifat itu] dinamakan kekhususan ketuhanan khawash al-uluhiyah, yang diantaranya adalah menciptakan dari tiada, pengaturan alam, ...”, Kamal al-Din Muhammad ibn Muhammad Ibn Abi Syarif al-Maqdisi, al-Musāmarah fī Syarh} al-Musāyarah, Kairo al-Maktabah al-Azhariyah li al-Turats, 2006, Jilid I, 62. Dalam kutipan ini, ditegaskan bahwa pengesaan dalam kewajiban disembah ibādah/tawh}īd ulūhiyah merupakan konsekuensi dari pengesaan dalam penciptaan dan pengaturan alam. TASFIYAH Jurnal Pemikiran IslamMuhammad Imdad Rabbani16kemungkinan keterpisahannya secara praktis dari tauhid rubūbiyah, dengan, misalnya, mengutip kasus kaum musyrikin yang, dalam pandangan Ibn Taymiyyah, bertauhid hanya dengan tauhid rubūbiyah saja, seraya berargumen dengan surah Luqman ayat 25 dan surah al-Mu’minun ayat 86 dan demikian, salah satu perbedaan penting dalam konsep tauhid kedua madzhab ini adalah sebetulnya hanya berkisar dalam memandang hubungan antara tauhid ulūhiyah dan rubūbiyah; tidak kurang dan tidak lebih. Di satu sisi; Al-Asy’ari dan pengikutnya menjadikan keduanya saling melekat dan menyatu, sehingga sama sekali tidak terbayangkan apabila seseorang yang mengimani salah satunya dan mengingkari salah lainnya. Sedangkan di sisi yang lainnya; bagi Ibn Taymiyyah sendiri, setiap orang yang bertauhid ulūhiyah maka akan sekaligus juga bertauhid rubūbiyah, tapi tidak dengan bentuk sebaliknya. Di sini bila yang dilihat hanya diaspek ini saja, maka keduanya tampak berbeda dan saling demikian di luar itu, sejatinya terdapat beberapa poin yang disepakati oleh keduanya dalam persoalan tauhid. Di antaranya, secara umum keduanya sepakat mengimani semua berita yang datangnya dari al-Qur’an dan Hadis yang mendeskripsikan Sifat Allah SWT. ini penting untuk diketahui sebab, tanpa hal itu berimplikasi pada penyamaan Allah SWT pada makhluk. Keduanya juga sepakat bahwa Allah SWT Maha Esa, tak ada yang menyerupai-Nya dalam Sifat dan Nama-Nya, tak ada yang membantunya dalam mencipta dan mengatur seluruh makhluk. Di samping hal-hal lain yang dijelaskan dalam al-Qur’an dan hadis yang pasti makna dan transmisinya qat}hīy al-dalālah wa al-wurūd. Hal-hal semacam inilah yang semestinya menjadi pegangan bersama, dipelajari dan diamalkan bersama oleh semua Muslim, baik yang awam maupun 52 Taqiy al-Din Abu al-’Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyyah, Minhāj al-Sunnah ..., Jilid III, 171. Vol. 3, No. 1, Februari 2019Tauhid Ahlussunnah wal Jama’ah... 17yang alim. Adapun persoalan lain yang tidak bersifat demikian semestinyalah hanya dibicarakan oleh mereka yang otoritatif di bidangnya atau para pencari ilmu yang sungguh-sungguh. Melakukan sebaliknya dapat menimbulkan apa yang seringkali kita saksikan sepanjang sejarah umat Islam hingga hari ini, yakni ketegangan bahkan permusuhan yang disebabkan oleh perdebatan orang-orang yang tidak dalam membaca dan menimbang pandangan para ulama, selayaknya seorang Muslim bersikap adil dan beradab, yang salah satunya adalah dengan menjadikan yang pasti benar qat}hiīy al-dalālah wa al-wurūd min al-Kitāb wa al-Sunnah sebagai pemersatu umat Islam, sekaligus menjadikan para ulama yang otoritatif sebagai pihak yang berhak berbicara di wilayah selainnya. Sekali lagi, hal ini untuk menghindari potensi perpecahan yang amat mungkin timbul dari penekanan yang tidak proporsional terhadap aspek zhanniyāt dari agama dengan keterlibatan orang awam. Tentu saja hal ini tidak berarti meniadakan perbedaan. Sebaliknya, perbedaan bukan saja terjadi tapi juga merupakan bagian integral dari sejarah panjang umat Islam. Lebih jauh lagi, beberapa peristiwa di zaman Nabi SAW. menunjukkan bahwa beberapa bentuk perbedaan pemahaman, yang berakibat perbedaan perbuatan, bukan hanya terjadi, tapi juga diizinkan. Namun yang perlu digarisbawahi adalah bahwa perbedaan itu harus muncul dari ijtihad seorang ulama yang punya otoritas untuk berijtihad.[]Daftar PustakaAbd al-Barr, Abu Umar Yusuf. 1997. Al-Intiqā’ fī Fad}ā’il al-A’immah al-Tsalātsah al-Fuqahā’. Ed. Abd al-Fattah Abu Ghuddah. Aleppo dan Beirut Maktab al-Mathbuat al-Islamiyah dan Dar al-Basya’ir al-Raziq, Mushthafa. 2011. Tamh}īd lī Tarīkh al-Falsafah al-Islāmiyah. Beirut dan Kairo Dar al-Kitab al-Lubnani dan Dar al-Kitab al-Mishri. TASFIYAH Jurnal Pemikiran IslamMuhammad Imdad Rabbani18Abi Syarif al-Maqdisi, Kamal al-Din Muhammad ibn Muhammad Ibn. 2006. Al-Musāmarah fī Syarh} al-Musāyarah. Jilid I. Kairo al-Maktabah al-Azhariyah li Abu al-Fadl Ahmad bin Ali bin Fath} al-Bāri Syarh} S}ah}īh} al-Bukhārī. Jilid XIII. Beirut Dar al-Ma’rifah. _____. 1972. Al-Durar al-Kāminah fī Ayān al-Mi’ah al-Tsāminah. Ed. Muhammad Abd al-Muid Dlan. Jilid I. Hayderabad Majlis Da’irah al-Maarif al- Abu al-Hasan Ali bin Ismail. 1955. Kitab al-Luma  al-Radd ala Ahl al-Zaygh wa al-Bida. Ed. Hamudah Gharabah. Mathbaah Mishr Syirkah Musahamah 1955. Kitāb al-Lumā fī al-Radd alā Ahl al-Zaygh wa al-Bidā. Ed. Hamudah Gharabah. Mathbaah Mishr Syirkah Musahamah 1977. Al-Ibānah an Us}hūl al-Diyānah. Ed. Fawqiyah Husayn Mahmud. Abidin Dar 1990. Maqālāt al-Islāmiyyīn wa Ikhtilāf al-Mus}hallīn. Ed. Muhammad Muhy al-Din Abd al-Hamid. Jilid I. Beirut al-Maktabah al-Ashriyah_____. 2002. Risālah ilā Ahl al-Tsaghīr. Ed. Abd Allah Syakir Muhammad al-Junaydi. al-Madinah al-Munawwarah Maktabah al-Ulum wa Syed Muhammad Naquib. 1993. Islam and Secularism. Kuala Lumpur Abu Bakr Muhammad bin al-Thayyib bin. 1957. Kitāb al-Tamh}īd. Ed. Richard Joseph McCarthy. Beirut al-Maktabah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Ih}yā’ Ulūm al-Dīn. Jilid IV. Beirut Dar al-Ma bin Furak, Abu Bakr Muhammad bin. 1978. Mujarrad Maqālāt al-Syaykh Abī al-H}asān al-Asyari. Ed. Daniyal Jimarih. Beirut Dar al-MasyriqAl-Juwayni, Imam al-Haramayn. 1969. Al-Syāmil fī Us}ūl al-Dīn. Ed. Ali Sami al-Nasysyar, Fayshal Budayr Awn dan Suhayr Muhammad Mukhtar. Iskandariyah Mansyaah al-Maarif. Vol. 3, No. 1, Februari 2019Tauhid Ahlussunnah wal Jama’ah... 19Al-Qazwini, Abu Abd Allah Muhammad bin Yazid. Sunān Ibn Mājah. Ed. Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi. Jilid I. Beirut Dar al-Fikr. Al-Qazwini, Abu Abd Allah Muhammad bin Yazid. Sunān Ibn Mājah. Jilid II. Abu al-Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir. 1988. Al-Nihāyah fī al-Fitān wa al-Malāhīm. Ed. Muhammad Ahmad Abd al-Aziz. Jilid II. Beirut Dar Abu al-Husayn Muslim bin al-Hajjaj. Al-Jāmī’ al-S}ah}īh} al-Musammā S}ah}īh} Muslim. Jilid I. Beirut Dar al-Jil dan Dar al-Afaq al-Jadidah. Al-Sijistani, Abu Dawud Sulayman bin al-Asyats. Sunān Abī Dāwud. Jilid IV. Beirut Dar al-Kitab al- Abu Abd Allah Ahmad bin Hanbal. Musnad al-Imām Ah}mad bin H}anbal. Jilid IV. Kairo Muassasah Sad al-Din Masud bin Umar. 1998. Syarh al-Maqashid. Ed. Abd al-Rahman Umayrah. Jilid IV. Beirut Alam Abu al-Qasim Sulayman bin Ahmad. 1415. Al-Mujam al-Awsat}h. Ed. Thariq bin Iwadl Allah bin Muhammad. Kairo Dar al-Haramayn. _____. 1983. Al-Mujam al-Kabīr. Ed. Hamdi bin Abd al-Majid al-Sala. Jilid VIII. Mosul Maktabah al-’Ulum wa al-Hikam. Al-Tirmidzi, Abu Isa Muhammad bin Isa. Sunan al-Tirmīdzī. Ed. Ahmad Muhammad Syakir, et al. Jilid V. Beirut Dar Ihya al-Turaats al- Sai, Muhammad Naim Muhammad. 2007. Al-Qa>nūn fī Aqāid al-Firaq wa al-Madzāhib al-Islāmiyyah. Kairo Dar Harras, Muhammad bin Khalil. 1415. Syarh} al-Aqīdah al-Wāsit}hiyyah. Ed. Alawi bin Abd al-Qadir al-Saqqaf. Al-Khabar Dar al-Hijrah li al-Nasyr wa al-Qayyim al-Jawziyyah, Abu Abd Allah Muhammad bin Abi Bakr. 1973. Madārij al-Sālikīn bayna Manāzīl Iyyāka Nabudu wa Iyyāka Nastaīn. Ed. Muhammad Hamid al-Faqi. Jilid III. Beirut Dar al-Kitab al- Taymiyyah, Taqiy al-Din Abu al-’Abbas Ahmad bin Abdul Halim. Minhāj al-Sunnah al-Nabawiyah. Ed. Muhammad Rasyad Salim. Jilid III. Muassasah Qurthubah. TASFIYAH Jurnal Pemikiran IslamMuhammad Imdad Rabbani20_____. 1987. Al-Fatāwā al-Kubrā. Ed. Muhammad Abd al-Qadir Atha dan Mushthafa Abd al-Qadir. Jilid VI. Dar al-Kutub 2005. Al-Ubūdiyah. Ed. Muhammad Zuhayr al-Syawiys. Beirut al-Maktab 1428. Al-Furqān bayna Awliyā’ al-Rahmān wa Awliyā’ al-Syayt}hān. Ed. Abd al-Rahman bin Abd al-Karim al-Yahya. Riyadl Maktabah Dar 1398. Majmū’ al-Fatāwā. dicetak atas perintah Raja Fahd bin Abd al-Aziz. Ed. Abd al-Rahman bin Qasim. Jilid I. 1415. Syarh} al-Aqīdah al-Ashāniyah. Ed. Ibrahim Saiday. Riyadl Maktabah Majmūah al-Rasā’il wa al-Masā’il. Ed. Muhammad Rasyid Ridla. Lajnah al-Turats al- Al-Rādd alā al-Akhnā’i wa Is}tih}bāb Ziyārah Khayr al-Bariyyah. Ed. Abd al-Rahman bin Yahya al-Muallimi al-Yamani. Kairo al-Mathbaah al-Sala 2000. Al-Tadāmmuriyah Tah}qīq al-Itsbāt} lī al-Asmā’ wa al-Sifāt wa H}aqīqah al-Jam bayna al-Qadār wa al-Syar. Ed. Muhammad bin Awdah al-Suudi. Riyadl Maktabah 2001. Qaīdah Jalīlah fī al-Tawas}s}ul wa al-Wasīlah. Ed. Rabi bin Hadi Umayr al-Madkhali. Ujman Maktabah al-Din Itr. 1979. Manhaj al-Naqd fī Ulūm al-H}adīts. Damaskus Dar al-Fikr. ... Penyebutan-penyebutan tersebut dapat diartikan semua umat Islam yang mengikuti jejak Rasulullah SAW dan sahabatnya RA yang merupakan mayoritas umat Islam setiap masa. Rabbani, 2019. ... Rahim Kamarul ZamanMujiburrahman Muhammad SalehMohd Ramizu AbdullahKolej Islam Antarabangsa Sultan Ismail Petra KIAS merupakan sebuah institusi pengajian tinggi swasta yang ditubuhkan pada tahun 1999 di bawah pentadbiran kerajaan negeri Kelantan. Asas penubuhannya didasari matlamat menjadikan negeri Kelantan sebagai pusat perkembangan syiar Islam. Tuntasnya, cetusan penubuhan KIAS merupakan sebahagian agenda pembangunan pendidikan di bawah Dasar Membangun Bersama Islam MBI yang dimasyhurkan pada tahun 1990. Sehubungan dengan itu, makalah ini dikemukakan bagi membincangkan sumbangan dan sokongan alumni KIAS dalam merealisasikan Dasar MBI. Kajian berbentuk kualitatif ini digarap secara deskriptif dengan menggunakan metode analisis kandungan dalam proses analisis. Hasil kajian ini mendapati majoriti alumni KIAS memberikan sokongan terhadap dasar MBI yang menjadi dasar utama pentadbiran kerajaan negeri Kelantan sehingga kini. Selain itu, sebahagian alumni KIAS terbukti berjaya berfungsi memberikan sumbangan terhadap negeri Kelantan dalam pelbagai sektor. Justeru, dapat disimpulkan bahawa graduan keluaran KIAS berjaya memaparkan bukti signifikan kejayaan agenda pendidikan dasar MBI negeri Kelantan. Oleh demikian, kemandirian KIAS berteraskan dasar MBI wajar dibangunkan sebagai model institusi pengajian tinggi Islam terkemuka di Bakr Muhammad bin al-Thayyib binAl-BaqillaniAl-Baqillani, Abu Bakr Muhammad bin al-Thayyib bin. 1957. Kitāb al-Tamh} īd. Ed. Richard Joseph McCarthy. Beirut al-Maktabah Bin FurakAl-Hasan bin Furak, Abu Bakr Muhammad bin. 1978. Mujarrad Maqālāt al-Syaykh Abī al-H} asān al-Asy'ari. Ed. Daniyal Jimarih. Beirut Dar al-MasyriqAbu al-Fida' Isma'il bin 'Umar bin KatsirAl-QurasyiAl-Qurasyi, Abu al-Fida' Isma'il bin 'Umar bin Katsir. 1988. Al-Nihāyah fī al-Fitān wa al-Malāhīm. Ed. Muhammad Ahmad Abd al-Aziz. Belikoleksi Buku Ahlussunnah Wal Jamaah online lengkap edisi & harga terbaru Agustus 2022 di Tokopedia! ∙ Promo Pengguna Baru ∙ Kurir Instan ∙ Bebas Ongkir ∙ Cicilan 0%. Ahlussunnah Wal Jamaah Judul buku Ahlussunnah Wal Jamaah Islam Wasathiyah, Tasamuh, Cinta Damai Penulis A. Fatih Syuhud Penerbit Pustaka Al-Khoirot, Malang, Halaman 615 ISBN-13 978-1979695046 ISBN-10 1979695040 Copyright © 2020 oleh A. Fatih Syuhud All rights reserved. Cetakan 3 Nopember 2018 Cetakan 4 Juni 2020 Cover warna merah maroon Harga Rp. di luar ongkir Pesan via email info Pesan via WA/SMS 0815-5325-6855 Seluruh buku versi cetak Pustaka Al-Khoirot Versi digital Rp. – Play Store – Google books – Payhip pdf Daftar Isi buku Ahlussunnah Wal Jamaah Prolog Bab 1 Tiga Pilar Ahlussunnah Wal Jamaah Bab 2 Menghargai Perbedaan Bab 3 Masalah Ziarah Kubur dan Maulid Nabi Bab 4 Makna Jihad Bab 5 Ideologi Intoleran dan Kekerasan Bab 6 Gerakan Transnasional Bab 7 Gerakan Radikal Masa Lalu Cara Mendapatkan Buku ini Aqidah Asy’ariyah Pilihan Mayoritas Ulama Pokok-pokok Aqidah Asy’ariyah Aqidah Maturidiyah Aqidah Ahlul Hadits Atsariyah Fiqih Madzhab Empat Tasawuf Taat pada Ulil Amri Penguasa Menghargai Perbedaan Islam itu Mudah Mentolerir Perbedaan Bid’ah itu Baik Pembagian Bid’ah Bid’ah menurut Empat Madzhab Berbeda Pilihan Politik Larangan Mengafirkan Sesama Muslim Sikap Muslim pada Non-Muslim Sikap Anak Muslim pada Orang Tua Non-Muslim Masalah Ziarah Kubur dan Maulid Nabi Peringatan Maulid Nabi Alasan Penentang Maulid Nabi Ziarah Kubur Ziarah Kubur menurut Empat Madzhab Makna Jihad Jihad Besar Jihad dengan Pendidikan Jihad dengan Akhlak 1 Jihad dengan Akhlak 2 Jihad Ibadah dan Sosial Jihad Kecil Syarat Jihad Perang Larangan dalam Jihad Bom Bunuh Diri Jihad atau Terorisme? Ideologi Intoleran dan Kekerasan Tauhid Rububiyah dan Uluhiyah Tauhid Asma was Sifat Kesalahan Konsep Tauhid Rububiyah Salafi Wahabi Tauhid Rububiyah menurut Salafi dan Ahlussunnah Tauhid Uluhiyah dan Masalah Syirik Al Wala’ wal Bara’ 10 Pembatal KeIslaman 1 Syirik 10 Pembatal Keislaman 2 Tawasul 10 Pembatal Keislaman 3 3 s/d 10 Doktrin Thaghut Hizbut Tahrir Gerakan Transnasional Salafi Wahabi Salafi Jihadi Jamaah Tabligh Ikhwanul Muslimin Akidah Hizbut Tahrir Hizbut Tahrir Doktrin dan Pandangan Ulama Kontroversi Fatwa Hizbut Tahrir Hizbut Tahrir dan Salafi Wahabi Gerakan Radikal Masa Lalu Khawarij Gerakan Radikal Pertama dalam Islam Al-Ikhwan Wahabi Kakak Kandung ISIS *** Prolog Kriteria Ahlussunnah Wal Jamaah Pada tanggal 25 sampai 27 Agustus 2016 diadakan muktamar ulama Islam yang diadakan di Grozny, Chechnya. Muktamar yang dihadiri oleh Syaikh Al-Azhar, para mufti dari berbagai negara dan para ulama dari seluruh dunia termasuk Habib Umar bin Hafidz Yaman, ini mengambil tema “Man Hum Ahlussunnah Wal Jamaah? Siapa Ahlussunnah Wal Jamaah itu?.” Pada akhir acara, muktamar yang dikenal dengan sebutan Muktamar Chechnya ini menghasilkan sejumlah keputusan antara lain tentang definisi Ahlussunnah Wal Jamaah Aswaja sebagai berikut أهل السنة والجماعة هم الأشاعرة والماتريدية في الاعتقاد، “ومنهم أهل الحديث المفوضة” في الاعتقاد، وأهل المذاهب الأربعة الحنفية والمالكية والشافعية والحنابلة في الفقه، وأهل التصوف الصافي علماً وأخلاقاً وتزكيةً على طريقة سيد الطائفة الإمام الجنيد ومن سار على نهجه من أئمة الهدى، وهو المنهج الذي يحترم دوائر العلوم الخادمة للوحي Pengikut Ahlussunnah Wal Jamaah adalah mereka yang secara aqidah mengikuti madzhab aqidah Asy’ariyah dan Maturidiyah. Termasuk juga aqidah “Ahlul Hadits yang Representatif.” Secara fiqih mengikuti salah satu madzhab fiqih yang empat Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Termasuk Ahlussunnah adalah pengikut tasawuf yang bersih secara ilmu, akhlak dan penyucian diri menurut tarekat Imam Al-Junaid dan para Sufi yang mengikuti manhaj Al-Junaid. Yaitu manhaj tasawuf yang tidak bertentangan dengan syariah.[1] Dengan definisi di atas, maka kelompok Salafi Wahabi secara tidak langsung dikeluarkan dari golongan Ahlussunnah Wal Jamaah[2] karena dalam beraqidah memakai akidah Ibnu Taimiyah. Walaupun dasar aqidah Ibnu Taimiyah berasal dari aqidah Ahlul Hadits, namun ada perbedaan signifikan antara keduanya.[3] Di antaranya, a aqidah Ibnu Taimiyah menganut aliran Karramiyah yang dikenal dengan konsep tajsim atau memfisikkan Allah mujassimah. Kaum mujassimah menurut Asy’ariyah tidak termasuk dalam Ahlussunnah Wal Jamaah.[4] b Aqidah Ibnu Taimiyah menambahkan konsep tiga tauhid rububiyah, uluhiyah dan asma was sifat yang dibuat alat untuk memvonis muslim yang tidak mengikuti konsep ini sebagai syirik dan kafir[5]; c Muhammad bin Abdul Wahab menambah doktrin Tiga Tauhid Ibnu Taimiyah di atas dengan 10 Pembatal Keislaman nawaqidh al-Islam al-Asyrah yang dengannya mengafirkan dan menghalalkan darah mayoritas umat Islam yang tidak mengikuti alirannya.[6] Lima tahun sebelum Muktamar Chechnya, Syaikh Al-Azhar Dr. Ahmad Tayyib, sudah menyatakan saat mewisuda lulusan Al-Azhar bahwa kaum Salafi Wahabi adalah “Khawarij zaman ini.”[7] Pernyataan Syaikh Al-Azhar ini sebenarnya merupakan gaung dari ungkapan seorang ulama besar dua abad sebelumnya bernama Al-Showi wafat 1214 H.[8] Dalam kitab Hasyiyah Al-Showi ala Tafsir Al-Jalalain, ia menyatakan “Menurut satu pendapat, Ayat ini [yakni QS Fatir 358] diturunkan terkait kaum Khawarij yang merubah takwil Al-Quran dan sunnah. Dengan itu mereka menghalalkan darah dan harta umat Islam. Kaum Khawarij [baru] juga bisa dilihat saat ini. Mereka adalah golongan orang-orang yang berasal dari tanah Hijaz sekarang Saudi Arabia. Golongan tersebut bernama “Wahabiyah” Mereka mengira bahwa mereka yang paling benar. Ingatlah, bahwa mereka adalah pembohong.”[9] Toleran pada Perbedaan adalah Ciri Khas Ahlussunnah Wal Jamaah Seorang penganut Ahlussunnah yang betul-betul memahami esensi dan kriteria Aswaja di atas akan memiliki perilaku yang tidak hanya toleran, menghargai perbedaan dan cinta damai terhadap sesama muslim, tapi juga akan bersikap yang sama pada non-muslim yang tidak berbuat zalim.[10] Sebaliknya, seorang Ahlussunnah yang bersikap keras pada sesamanya menunjukkan ketidakmampuannya dalam memahami ajaran utama Ahlussunnah. Ada beberapa faktor yang mendasari hal ini. Pertama, Ahlussunnah secara fitrah selalu toleran pada perbedaan madzhab akidah. Aqidah disebut sebagai masalah pokok agama ushuluddin. Sehingga ada anggapan di kalangan sebagian penganut Ahlul Hadits atau Atsariyah, bahwa aqidah mereka adalah satu-satunya aqidah yang benar. Dan bahwa masalah aqidah adalah masalah prinsip yang tidak boleh ada kompromi. Demikian juga, ada anggapan di kalangan sebagian penganut aqidah Asy’ariyah bahwa madzhab aqidah mereka yang terbaik dan paling benar. Sebagaimana dijelaskan dalam buku ini, anggapan ini juga tidak benar. Diterimanya tiga akidah yang berbeda yaitu Asy’ariyah, Maturidiyah dan Ahlul Hadits sebagai bagian dari aqidah Ahlussunnah Wal Jamaah[11] membawa konsekuensi bahwa kebenaran dalam konsep aqidah tidaklah tunggal. Pengikut aqidah Ahlul Hadits, misalnya, tidak bisa menilai pengikut Asy’ariyah dan Maturidiyah sebagai sesat hanya karena tidak sesuai dengan akidah Ahlul Hadits. Demikian juga, penganut Asy’ariyah tidak boleh menganggap sesat pengikut akidah Maturidiyah dan Ahlul Hadits hanya karena pendapatnya berbeda dengan Asy’ariyah, dan seterusnya. Seorang pengikut Asy’ariyah sewajarnya mengamalkan akidah Asy’ariyah untuk dirinya sendiri. Namun, hendaknya tidak menggunakan pandangan akidah Asy’ariyah untuk menilai pengikut madzhab Maturidiyah dan Ahlul Hadits. Toleransi pada perbedaan aqidah hanya bisa terjadi apabila minimal para ulama dan ustadz dari masing-masing madzhab aqidah juga mempelajari dan memahami madzhab aqidah yang lain. Ulama Asy’ariyah hendaknya juga mengkaji dasar-dasar aqidah Ahlul Hadits dan Maturidiyah. Begitu juga, penganut madzhab Ahlul Hadits mengkaji dasar-dasar akidah Asy’ariyah dan Maturidiyah. Dan yang tak kalah penting adalah menjadikan perbedaan yang ada sebagai perbedaan ijtihadi yang sama-sama benarnya. Sehingga tidak ada ruang untuk menyalahkan atau menyesatkan madzhab aqidah yang lain. Kedua, toleran pada perbedaan madzhab fiqih. Fikih termasuk dalam ranah furuiyah cabang dalam agama. Dengan adanya empat madzhab fikih yang diakui sebagai bagian dari Ahlussunnah, maka itu bermakna bahwa terkadang ada empat pandangan fikih yang berbeda dalam masalah yang sama. Dan keempat pandangan yang berbeda itu dihukumi sama-sama benar. Rasulullah bersabda “Hakim mujtahid yang berijtihad dan ijtihadnya benar maka ia mendapat dua pahala. Sedangkan yang berijtidihad dan ternyata salah maka mendapat satu pahala.”[12] Benar atau salahnya suatu ijtihad hanya Allah yang tahu. Ulama mujtahid hanya berusaha maksimal untuk berijtihad menghasilkan hukum berdasarkan metode dan manhaj yang diikuti. Cinta Damai, Menghindari Konflik, Menguatkan Ukhuwah Dengan adanya fakta bahwa Ahlussunnah selalu menghargai perbedaan tidak hanya dalam masalah madzhab fikih, tapi juga madzhab aqidah yang notabene merupakan masalah ushuluddin pokok agama, maka sebenarnya tidak ada jalan untuk konflik. Yang ada adalah jalan ukhuwah dan perdamaian yang terbuka lebar. Namun demikian, konflik sosial bisa saja tetap terjadi di kalangan sesama pengikut Ahlussunnah apabila Ada ormas yang mengikuti madzhab tertentu yang berusaha mengajak anggota ormas lain yang mengikuti madzhab yang berbeda. Terutama apabila dengan cara menjelek-jelekkan ormas atau madzhab yang berbeda tersebut. Pengikut suatu madzhab, sama saja madzhab akidah atau madzhab fikih, selalu memakai pandangan madzhabnya untuk menilai pengikut madzhab lain. Sehingga, pengikut madzhab lain merasa tersinggung dan membalas hal yang sama. Akhirnya, konflik terjadi tanpa akhir. Di sinilah perlunya keluasan ilmu para ulama dan ustadz akan madzhab lain dan kedewasaan serta kebijaksaan mereka dalam memberi pencerahan pada umatnya. Terjadi perbedaan pilihan politik yang berakibat pada saling tuduh dan fitnah. Perbedaan afiliasi politik sering menjadi pemicu konflik bahkan antara sesama golongan madzhab aqidah atau fikih tertentu. Ada golongan non-Aswaja yang selalu merecoki kalangan Aswaja dengan paham-paham baru dan menyesatkan kalangan Ahlussunnah. Empat poin penyebab konflik di atas harus terus diwaspadai terutama bagi kalangan pemimpin umat. Wasathiyah Moderat berarti Menghargai Perbedaan Islam pada dasarnya adalah moderat wasathiyah. Yang secara etimologis berarti berada di tengah antara dua ekstrim tatarruf kiri dan kanan. Tidak radikal, juga tidak liberal Terkait kata wasath Allah berfirman dalam QS Al-Baqarah 2143 “Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu umat Islam, umat yang wasath agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia.”[13] Dalam sebuah hadits sahih dijelaskan bahwa maksud wasath adalah adil.[14] Ulama mengartikan kata wasathiyah secara istilah dengan berbagai macam ragam makna. Muhamad Al-Hibr Yusuf mendefinisikan wasathiyah sebagai “pendekatan yang otentik dan sifat yang indah serta pemahaman menyeluruh atas arti adil, baik dan konsisten. Ia adalah perkara hak kebenaran yang berada di antara dua perkara batil dan di tengah antara dua ekstrim dan adil antara dua kezaliman.”[15] Dr. Yusuf Qardhawi menandai beberapa karakter dan perilaku wasathiyah sebagai berikut Saling tolong menolong ta’awun antara golongan Islam dalam hal yang disepakati, dan toleran pada masalah khilafiyah. Mengutamakan inti dari bentuk, esoteris batin dari eksoteris tampilan lahir, perbuatan hati sebelum perilaku fisik. Mendakwahi umat dengan hikmah bijaksana, dan berdialog dengan yang lain nonmuslim secara baik. Kombinasi antara kasih sayang pada sesama muslim dan tasamuh toleran pada nonmuslim. Mendahulukan pada pembangunan bukan penghancuran, pada persatuan bukan perpecahan, pada pendekatan bukan menjauhi. Mengombinasikan antara ilmu dan iman, antara kreatifitas materi dan keluhuran jiwa, antara kekuatan ekonomi dan kekuatan karakter. Tepat berada di tengah antara ketetapan syariah dan perubahan zaman. Konsisten dalam pokok dan dasar, memudahkan dalam furu’iyah dan detail. Tegas dan jelas dalam tujuan, lembut dalam cara. Pemahaman komprehensif pada Islam dengan sifatnya akidah dan syariah, dunia dan akhirat, dakwah dan negara. Mempermudah dalam fatwa, dan menggembirakan dalam dakwah. Mengambil pendekatan bertahap yang bijaksana dalam dakwah, taklim, berfatwa, dan perubahan. Fokus pada prinsip nilai-nilai kemanusiaan dan sosial seperti adil, dialog, kebebasan, hak asasi manusia. Memerdekakan perempuan dari keterbelakangan dan efek invasi peradaban Barat. Memanfaatkan sebaik-baiknya seluruh peninggalan ulama terdahulu dari akurasi ulama fikih, konsolidasi ulama ushul fiqih, hafalan ahli hadits, rasionalitas ulama mutakallimin ahli tauhid, sisi spiritualitas kalangan Sufi, riwayat ahli sejarah, kelembutan ahli sastra dan syair, renungan ulama dan eksperiman ulama dengan catatan bahwa warisan yang tak terhingga ini semuanya tidaklah maksum. Ia menerima untuk dikritik, dievaluasi, diperdebatkan, diunggulkan atau dilemahkan. Namun secara umum, ulama tidak akan bersepakat dalam kesesatan. Mengombinasikan antara inspirasi masa lalu, konsistensi masa kini dan prospek masa depan. Memahami bagian nash dalam Al-Quran dan Al-Sunnah secara kontekstual menurut tujuan yang umum. Memperhatikan perubahan pengaruh zaman, waktu dan manusia dalam berfatwa, dakwah, pengajaran dan keputusan hukum. Dakwah pembaruan agama dari dalam, dan menghidupkan wajibnya ijtihad pada tempatnya bagi ahlinya. Jihad pada nonmuslim yang melakukan invasi militer; damai pada yang ingin damai.[16] Kriteria wasathiyah yang disampaikan Dr. Yusuf Qardhawi di atas pada dasarnya ditujukan pada dua golongan umat yaitu yang bersifat umum untuk golongan ulama dan awam poin a sampai j, namun ada juga yang khusus pada kalangan ulama. Baik ulama yang memiliki level mujtahid atau ulama biasa. Untuk kalangan awam, pesan utama dari pemahaman tentang Islam wasathiyah di atas pada intinya ada dua pertama, berpegang teguh pada madzhab aqidah dan madzhab syariah yang kita ikuti dan meyakini akan kebenarannya. Kedua, mengakui dan menghormati madzhab lain, baik madzhab aqidah maupun madzhab fiqih, dan menganggapnya memiliki kebenaran yang sama dan karena itu tidak perlu diperdebatkan atau dijadikan pemicu konflik. Untuk kalangan ulama dan ustadz, pesan dari sikap wasathiyah adalah, pertama, ulama atau ustadz mubaligh yang sering berbicara di depan publik hendaknya menjadi sumber peredam konflik, pendingin situasi yang panas dan pemersatu umat. Bukan sebagai provokator dan pembuat onar. Kedua, ulama yang memiliki keahlian mumpuni dalam ilmu syariah hendaknya memiliki semangat yang sama dalam mengeluarkan fatwa. Yakni, fatwa yang memberikan solusi pada permasalahan umat dan antar sesama manusia.[] Footnote [1] Muktamar Syisyan 2016, Pandangan ini sebenarnya merupakan pendapat ulama salaf seperti Al-Safarini dan Tajuddin Al-Subki. Lihat, “Aqidah Al-Atsariyah” dalam buku ini. [2] Muktamar li Takrif Assunnah bi Al-Syisyan Yastasni Al-Salafiyin wa Yutsiru Al-Ghadab bi Al-Saudiyah Muktamar untuk Mendefinisikan Aswaja di Chechnya Mengecualikan Salafi Wahabi Membuat Saudi Marah, CNN Arabic, 30 Agustus 2016 Link [3] Lebih detail, lihat “Aqidah Al-Atsariyah” dalam buku ini. [4] Muktamar Syisyan Yusy’il Shara’at Al-Asya’irah wa Al-Salafiyin min Jadid, 31 Agustus 2016. [5] Lihat, “Tauhid Uluhiyah dan Rububiyah” dan “Tauhid Asma was Sifat” dalam buku ini. [6] Lihat, “10 Pembatal Keislaman 1 Syirik” , bagian 2 Tawasul, bagian 3 Tujuh Poin yang Lain dalam buku ini. Lihat juga pernyataan Said Faudah, ulama Asy’ariyah salah satu peserta Muktamar Chechnya, di Youtube Ma Makna anna Al-Wahabiyah Laisu min Ahlissunnah Apa Maksud Wahabi Tidak Termasuk Ahlussunnah? [7] “Al-Salafiyah Al-Muta’assibah Khawarij Hadza Al-Ashr”, 5 April 2011. Teks berita أكد الإمام الأكبر الدكتور أحمد الطيب‏,‏ أن عقيدة الأزهر الشريف هي عقيدة الأشعري والماتريدي وفقه الأئمة الأربعة وتصوف الإمام الجنيد‏,‏ وقال الإمام إن السلفيين الجدد هم خوارج العصر‏. [8] Sementara Muhammad bin Abdul Wahab pendiri gerakan Salafi Wahabi wafat pada 1206 hijriah. Jadi, keduanya ulama yang hidup dalam satu masa. [9] Al-Shawi, Hasyiyah Al-Shawi ala Tafsir Al-Jalalain, hlm. 5/78, Cetakan pertama, Darul Fikr1988. Teks asal و قيل هذه الأية نزلت في الخوارج الذين يحرفون تأويل الكتاب و السنة , و يستحلون بذلك دماء المسلمين و أموالهم , لما هو مشاهد الأن فى نظائرهم و هم فرقة بأرض الحجاز يقال لهم الوهابية يحسبون أنهم على شيئ ألا إنهم هم الكاذبون [10] QS Al-Mumtahanah 608 “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang kafir yang tiada memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” [11] Lihat, Al-Safarini, Lawami’ Al-Anwar Al-Bahiyah wa Sawati’ Al-Asrar Al-Atsariyah Syarah Al-Durrat Al-Madiyah ala Aqaid Al-Firqah Al-Najiyah, hlm. 1/73 [12] Hadits riwayat Bukhari dan Muslim. Teks hadits إذا حكم الحاكم فاجتهد ثم أصاب فله أجران ، وإذا حكم فاجتهد ثم أخطأ فله أجر [13] Teks asal وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيداً [14] Hadits riwayat Bukhari. Teks فَذَلِكَ قَوْلُهُ وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا قَالَ الْوَسَطُ الْعَدْلُ [15] Fi Naqd Al-Qawl bi Al-Wasathiyah wa Al-I’tidal, 1 Juni 2008. [16] Yusuf Qardhawi, Kalimat fi Al-Wasatiyah Al-Islamiyah wa Ma’alimiha , 26 Juni 2007 PengenalanPemahaman Ahlussunnah Wal Jamaah. ASWAJA merupakan singkatan dari Ahlus sunnah wal jamaah, terdiri dari tiga kata, yaitu : Arti kata Ahlu ( yang bermakna keluarga, pengikut, dan penduduk); al-sunnah artinya jalan atau langkah. Maksud jalan disini ialah jalan yang telah ditempuh oleh Rasulullah saw., al-jamaah artinya perkumpulan. BeliBuku Prinsip Moderat Paham Ahlussunnah Wal Jamaah Aswaja by Abu Yasid. Harga Murah di Lapak IFLEGMA. Pengiriman cepat Pembayaran 100% Sebutkan2 ajaran pokok ahlussunnah wal jamaah di bidang akidah . Jual Produk Buku Ahlussunnah Wal Jamaah Termurah Dan Terlengkap September 2021 Bukalapak from ahlussunnah wal jama'ah meliputi tiga ruang lingkup yaitu : Hormat bendera negara apakah syirik? Sehingga hampir tidak ada lagi sifat kritis ajaran atau doktrin TerjemahRisalah Ahlussunnah wal Jama'ah KH. Hasyim Asy'ari versi LTMNU Pusat. karya : Hadzrat al-Syeikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari. Segala puji bagi Allah syukur atas karuniaNya. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad s.a.w. dan keluarganya. dalam kitab ini di muat sedikit hadits-hadits tentang kematian
  1. Αգе ιбугумеψа ачուнուጶω
  2. Д пр ቧлυво
    1. Ад эзዶктαг б φዙщиклωցай
    2. Θнтοችумէψо уሚуνθг σ
    3. የኂлαπըγо ζεса о всθми
.
  • k4lfl28c4m.pages.dev/240
  • k4lfl28c4m.pages.dev/167
  • k4lfl28c4m.pages.dev/314
  • k4lfl28c4m.pages.dev/359
  • k4lfl28c4m.pages.dev/130
  • k4lfl28c4m.pages.dev/182
  • k4lfl28c4m.pages.dev/236
  • k4lfl28c4m.pages.dev/57
  • k4lfl28c4m.pages.dev/57
  • buku ahlussunnah wal jamaah pdf